Wednesday, June 3, 2015

UNDUK NGADAU 2015: REFLEKSI SEORANG JURI



1. Pernah kamu berfantasi Rem Dambul jadi juri Unduk Ngadau? Saya sendiri pun tidak pernah terbayang.

But seriously, it is something I would never want to repeat. Shoot me if you ever again see me judging an Unduk Ngadau competition – at any level! Don’t get me wrong. I had fun with my fellow judges and the experience was truly amazing. Thanks Sis Joanna Kitingan for the opportunity.

However, it is just too overwhelming for me. Dengan satu sumandak pun saya tidak pernah lulus seumur hidup. Let alone having to deal with 42 beautiful sumandaks within a day! Fuh, sesak terus bah dada saya. Sampai sekarang ini pun masih copot tercungap-cungap. Macam ikan keli terpelanting keluar dari kolam.

2. Unduk Ngadau is arguably the MOST FOLLOWED event in Sabah. Berhari-hari sebelum pertandingan kemuncak lagi – seluruh media sosial (dari FB sampai Twiter) sudah ribut dengan macam-macam ramalan. Itu yang buat nervous dan takut. Sebab juri selalu jadi sasaran cemuh dan kutukan, bila pilihan tidak menepati citarasa ramai.

Tapi kecantikan dan persona diri – adalah dua perkara subjektif. People look at these qualities differently. Mau puaskan hati semua orang memang mustahil. But one thing the public must realise – the judges have this so-called “close-up moment” with all the 42 aspiring unduks. Because these sumandaks have to parade right in front of them in three rounds.

Bukan juga mau bilang yang pilihan juri lebih berkredibiliti. Tetapi poin saya, sudut pandang juri dan orang awam tentulah berbeza. Sebab orang lain tengok-tengok dari jauh saja. Juri dapat tengok dari dekat, dengan pandangan jarak kurang dari dua kaki. Bukan saja boleh nampak kaki siapa ada bekas gandas. Atau, nampak mekap siapa terlebih tebal, sampai rona muka berkontras jauh dengan warna kulit leher. Bahkan, rambut palsu siapa paling tebal pun boleh tau!

3. But Unduk Ngadau is not just about physical beauty. Bukan juga sekadar personaliti. It is more about inner charisma; how the unduk carries and projects herself as an exemplary KDM sumandak. Because the unduks are supposed to be the symbolic representation of Huminodun. Gadis yang bukan saja dilambangkan dengan kecantikan, tetapi juga memiliki ciri keberanian wanita sejati.

Sebab itu bila peserta cat-walk depan juri, tujuannya bukan mahu rendahkan martabat mereka sebagai item peragaan untuk tontonan umum. Ini peluang mereka untuk tunjukkan kualiti dalaman. Dengan cara memantulkan aura kesumandakan mereka yang halus dan murni; sambil juga tunjukkan sifat-sifat berani untuk menguasai suasana dewan yang begitu mencabar.

Masa sesi peragaan, aura peserta terpancar dengan pelbagai ragam. Some of them looked scared and emotionally overpowered by the rowdy crowd. It clearly showed in their faces, especially the eyes. Baru kena sorak sikit, sudah gigil-gigil dalam dada. Macam mana mau jadi Huminodun kalau mental tidak kuat. Huminodun memilih secara sukarela untuk dikorbankan. Maksudnya, dia lambang wanita berjiwa tegar dan bersemangat kental.

4. Ada juga peserta yang nampak agak tidak selesa dengan pakaian. Masa mau turun pentas macam terlampau rigid dan was-was. Ini pun satu lagi observation yang mungkin tidak dapat dicerap dengan teliti oleh audien. Tapi hakim boleh nampak dengan jelas. Sebab jarak yang dekat, dan peserta juga akan datang limpas depan hakim.

Dari segi tata busana KDM asli, lazimnya pakaian yang kaya dekorasi lebih dikhususkan untuk wanita-wanita yang berada di hireraki sosial teratas. Misalnya, untuk inan-inan dan kaum ibu, atau mereka yang mengetuai upacara spiritual (bobolian, etc). Pakaian sumandak yang masih bujang sepatutnya lebih simple dan tidak sarat hiasan. Sebab secara tradisi, mereka akan diberi hadiah aksesori dari suami semasa perkahwinan nanti. Ini bukanlah satu tuntutan mandatori. Tapi ia satu konvension budaya yang manis jika dipatuhi.

Kalau belum kahwin pun, pakaian sudah lip-lap macam tiang lampu Deepavali di Kota Delhi – habis apa lagi hadiah yang boleh dibagi oleh bakal laki? Tak kan mau bagi sedulang sinalau bakas, atau satu balang jeruk tuhau saja.

5. Coincidently, the eventual Top 3 winners are also my personal choice. Mungkin ada sedikit selisih margin di kalangan juri. But overall, it reflects the collective decision of the judging panel. Kebetulan ketiga-tiga unduk tersebut memakai busana tradisi dari etnik yang jarang ditonjolkan secara mainstream, iaitu garung lapoi dan sinombiaka (dari sub-etnik Bundu dan Liwan di pedalaman tengah, Ranau-Tambunan) serta pinongkolo (sub-etnik Murut dari pedalaman barat, Tenom).

Jangan salah faham. The chosen costumes are not the main factor here. I don’t think any of the judges DELIBERATELY chose the unduks purely based on what they wear. My own decision was not primarily guided by it. But under the super humid tropical weather, the right choice of outfit will significantly help the unduks to project their best inner beauty. Personally, I think they should have made the costumes more practical (but still maintaining enough traditional values). Remember: l̲e̲s̲s̲ ̲i̲s̲ ̲m̲o̲r̲e̲. Jangan terlalu sarat dengan aksesori. When the costume sparkles too much, to a certain degree – the glitters may outshine your beauty or overshadow your personality.

Ada setengah peserta, belum lagi sempat masuk di belakang pentas, dia sudah mula mengulit-ulit tangkong, giring atau posisi baju. Which was a clear indication that they struggled in their own chosen dresses. You want to be crowned as the KDM iconic woman (read: Huminodun), but you can’t even carry the traditional costume with pride and elegance. So, how lah?

6. I still think that Tati Kota Kinabalu is the sweetest among the Top 7 finalists. But beauty alone is not enough. The Q & A session is the ultimate test to distinguish who is the best Unduk Ngadau. Sebab siapa juga mau jadi wakil pesona Huminodun; dia mestilah tahu berbahasa ibunda (reasonably well, kalau pun tidak perfect) dan pintar menzahirkan pandangan secara oral.

Tati Tambunan paling pandai cakap dialek KDM. It was so natural and effortless. She spoke from her heart and like a real ‘tati’ (sumandak muda). Ada elemen humor dan funky. Tidak terlalu pedantic, macam zandi-zandi atau inan-inan tua (seperti majoriti peserta lain). Tati Tenom pula paling berkarisma masa menjawab soalan tentang isu-isu semasa seputar kebudayaan. She delivered her answer with so much confidence and passion.

Tati Tanjung Aru was the only one that chose to answer both questions in her mother tongue (KDM dialect). I was honestly stunned by her courageous effort. Bukan senang! Mungkin jawapan dia agak kurang sikit berbanding dengan Tati Tambunan dan Tati Tenom. Tapi selaku peserta pertama untuk sesi ini – penampilan dan tahap keyakinan yang ditunjuk wajar dipuji. Not bad at all. Ada peserta lain yang fumble sebab terlalu nervous walaupun bukan giliran pertama.

Tati Tanjung Aru may not be the best in every aspect. But she is crowned as the new Unduk Ngadau – because (in my personal opinion) she has the m̲o̲s̲t̲ ̲b̲a̲l̲a̲n̲c̲e̲d̲ combination of all the criteria being judged: natural beauty, personality, oratory skill and command of the ethnic dialect.

7. At the end of the day – we all must come back to the reality. Unduk Ngadau adalah acara kebudayaan, bukan pertandingan pop hedonis. Selepas usai semuanya, kita mesti refleksi diri untuk kembali kepada semangat asal.

Sama ada menang atau tidak – semua 42 sumandak unduk yang mewakili daerah masing-masing sudah diangkat sebagai pesona Huminodun KDM. Each and everyone deserve to be the ultimate Unduk Ngadau. But unfortunately, we have to choose ONLY one.

Saya mungkin tidak pernah masuk Unduk Ngadau. Kalau mau pun, mampu ka saya cat-walk turun-naik pentas Hongkod Koisaan? However, I have been in other competitions (debat, pidato, pantun, etc) at various different levels: district, state, national and even international. Some times I won, other times I did not. I know exactly how it feels to win or to lose. Tapi saya ambil pedoman dari setiap pengalaman, pahit atau manis.

8. It is not so much about winning or losing. It is about taking part and learning from the experiences. Years from now – when the moment truly matters – nobody will remember how many titles you have won. People are only interested to see and judge you as the person you are.

So you get my point here? It is not about the shining tiara: that you bring or fail to bring home. But the real thing is: how the entire experiences shape you as a person. How it really has crowned you with an enriching outlook in life.

Everyone is a winner. So be proud of yourself, wahai kesumandakan unduk semua. The only losers are those going home with anger and bitterness. Because when you refuse to make peace with yourself, you will never be able to put all the precious experiences into the right perspective.

Nota: Kredit gambar Yang Arif Tuan Caroline Majanil dan Gundohing Marios Marcus. Kotoluadan au ogina tompinai goduwo.
— feeling mimpod simpod poh miagal manuk nabangat doh kinomol! with Stephanie Rose Srk at Hongkod Koisaan, KDCA Penampang.



1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...